Rabu, 16 Februari 2011

Sejarah Majapahit


          MAJAPAHIT




Raden Wijaya, Pendiri Desa Tarik

Menurut Prasasti Kudadu, pada
tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang,
Bupati Gelang-Gelang dari Kadiri,
terhadap kekuasaan Kerajaan
Singasari. Raden Wijaya, sebagai
keponakan sekaligus menantu
Kretanegara, ditunjuk untuk
menumpas pasukan Gelang-
Gelang yang menyerang dari
arah utara Singasari. Waktu
Jayakatwang menyerang
Singasari, Wijaya diperintahkan
untuk mempertahankan ibukota
Singasari, Daha, di arah utara.
Wijaya berhasil memukul mundur
musuhnya. Namun, pasukan
Jayakatwang yang lebih besar
jumlahnya datang dari arah
selatan dan berhasil
menewaskan Kretanagara.

Setelah raja Sri Kretanegara
gugur, Singasari berada di
bawah kekuasaan Raja
Jayakatwang. Salah satu mantu
Kretanegara , yaitu Raden Wijaya,
kemudian berusaha merebut
kembali kekuasaan Jayakatwang.
Wijaya adalah keturunan Ken
Arok (Angrok), raja Singasari
pertama, karena merupakan
anak dari Dyah Lembu Tal. Nama
aslinya adalah Nararya
Sanggramawijaya. Pararaton
menyebutkan bahwa ia
mengawini dua putri
Kretanagara sekaligus, tetapi
Nagarakretagama menyebutkan
keempat anak perempuan
Kretanagara dinikahinya semua.
(Perihal mengenai asal mula
Wijaya merupakan sebuah cerita
yang menarik, karena
dibeberapa dokumen/
manuskrip, terutama yang
berasal dari Jawa Barat serta Bali
menyebutkan bahwa Wijaya
merupakan putra dari putra
mahkota raja Galuh yang
beristrikan putri dari Singasari,
ketika sang putra mahkota Galuh
mangkat, Wijaya dibawa kembali
oleh ibunya yang berdarah
Singasari kembali ke Singasari,
dan Wijaya dikenal dengan
panggilan “pangeran dari
barat”.

Menyadari bahwa kemenangan
tak mungkin diraihnya, Raden
Wijaya melarikan diri hendak
berlindung ke Terung, sebelah
utara Singasari. Karena terus
dikejar-kejar musuh, ia bersama
para pengikutnya setianya yang
tinggal duabelas orang, memilih
pergi ke arah timur. Raden
Wijaya beserta rombongan
mencari perlindungan ke sebuah
desa bernama Kudadu. Berkat
pertolongan Kepala Desa Kudadu,
rombongan Raden Wijaya dapat
menyeberangi selat menuju
Pulau Madura. Di pulau ini,
rombongan “pelarian” ini
memperoleh perlindungan dari
Arya Wiraraja, Bupati Songeneb
(nama Sumenep dulu). Berkat
bantuan Arya Wiraraja, Raden
Wijaya kemudian dapat kembali
ke Jawa dan diterima oleh raja
Jayakatwang.

Bersama Arya Wiraraja, Raden
Wijaya merencanakan siasat
untuk merebut kembali takhta
dari tangan Jayakatwang. Wijaya
berjanji, jika berhasil
mengalahkan Jayakatwang, maka
daerah kekuasaannya akan
dibagi dua, untuk dirinya dan
Wiraraja. Siasat pertama pun
dijalankan. Mula-mula, Wiraraja
menyampaikan berita kepada
Jayakatwang bahwa Wijaya
menyatakan menyerah kalah.
Jayakatwang yang telah
membangun kembali negeri
leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri,
menerimanya dengan senang
hati. Ia pun mengirim utusan
untuk menjemput Wijaya di
pelabuhan Jungbiru.

Siasat berikutnya, Wijaya
meminta Hutan Tarik di sebelah
timur Kadiri untuk dibangun
sebagai kawasan wisata
perburuan. Pararaton
menyebutnya sebagai “alas ing
wong Trik” (hutannya orang
Terik/hutan tarik).Wijaya
mengaku ingin
bermukim di sana. Jayakatwang
yang gemar berburu segera
mengabulkannya tanpa curiga.
Dalih lain yang dijanjikan Raden
Wijaya kepada Jayakatwang
bahwa pembukaan hutan ini
untuk mengantisipasi serangan
musuh dari arah utara Sungai
Brantas. Wiraraja pun mengirim
orang-orang Songeneb untuk
membantu Wijaya membuka
hutan tersebut.


Menurut Kidung Panji
Wijayakrama, ketika pembukaan
hutan tersebut salah seorang
Madura menemukan buah maja
yang rasanya pahit. Oleh karena
itu, pemukiman baru yang
didirikan Wijaya ini pun diberi
nama Majapahit. Di desa inilah
Raden Wijaya kemudian
memimpin dan menghimpun
kekuatan, khususnya rakyat yang
loyal terhadap almarhum
Kretanegara yang berasal dari
Daha dan Tumapel. (Cari semiotic
untuk arti majapahit) Arya
Wiraraja sendiri menyiapkan
pasukannya di Madura untuk
membantu Raden Wijaya bila
saatnya diperlukan. Rupaya ia
pun kurang menyukai Raja
Jayakatwang.

Penyerbuan Pasukan Mongol ke
Jawa
Setelah meruntuhkan Kerajaan
Tang, orang-orang Mongol
kemudian mendirikan sebuah
pemerintahan baru yang diberi
nama Sung (Song). Salah satu
anak Jenghis Khan, sang
penakluk Cina, bernama Kublai
Khan menjadi raja pertama
Mongol. Keinginan untuk
memperluas pengaruh bangsa
Mongol setelah menjajah Cina
adalah menundukkan kerajaan-
kerajaan lain di wilayah Asia
Tenggara dan Asia Timur dengan
menggunakan kekuatan militer
dan politik. Caranya: meminta
para penguasa lokal untuk
mengakui Kaisar Mongol sebagai
penguasa tunggal dan
mengharuskan raja-raja lokal
tersebut mengirim upeti (tribute)
kepada Kaisar Mongol.

Salah satu wilayah yang harus
ditaklukkan adalah Jawa yang
kala itu diperintah oleh Raja
Kretanagara dari Kerajaan
Singasari. Untuk maksud
tersebut, Kublai Khan mengirim
seorang utusan bernama Meng
Chi ke Jawa guna meminta Raja
Kretanagara agar tunduk di
bawah kekuasaan Mongol.
Merasa tersinggung, Kretanagara
mencederai wajah Meng Chi dan
mengirimnya pulang ke Cina
dengan pesan tegas bahwa
sebagai penguasa Jawa ia tidak
akan tunduk di bawah
kekuasaan Mongol. Perlakuan
Kretanegara terhadap Meng Chi
dianggap sebagai penghinaan
oleh Kublai Khan. Sebagai
seorang kaisar yang sangat
berkuasa di daratan Asia, ia
merasa terhina dan berniat
untuk menghancurkan Jawa
yang menurutnya telah
mempermalukan bangsa Mongol.

Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini
dituliskan dalam beberapa
sumber di Cina dan merupakan
berita yang sangat menarik
tentang kehancuran Singasari
serta munculnya Majapahit.
Pemberitaan mengenai
penyerbuan ini dapat dibaca
dalam buku nomor 162 dari
masa Dinasti Yuan
(terjemahannya dapat dibaca
dalam buku W.P. Groeneveldt
berjudul Historical Notes on
Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sources (1963:
20-31). Disebutkan bahwa
utusan yang dikirim ke Jawa
terdiri dari tiga orang pejabat
tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike
Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau
Hsing yang berdarah Cina,
sedangkan dua lainnya orang
Mongol. Mereka diberangkatkan
dari Fukien membawa 20.000
pasukan dan seribu kapal. Kublai
Khan membekali pasukan ini
untuk pelayaran selama satu
tahun serta biaya sebesar 40.000
batangan perak. Shih Pi dan Ike
Mese mengumpulkan pasukan
dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi,
dan Hukuang. Sedangkan Kau
Hsing bertanggung jawab untuk
menyiapkan perbekalan dan
kapal. Pasukan besar ini
berangkat dari pelabuhan Chuan-
chou dan tiba di Pulau Belitung
sekitar Januari 1293. Di sini
mereka mempersiapkan
penyerangan ke Jawa selama
lebih kurang satu bulan.

Perjalanan menuju Pulau Belitung
yang memakan waktu beberapa
minggu, melemahkan balatentara
Mongol karena harus melewati
laut dengan ombak yang cukup
besar. Banyak prajurit yang sakit
karena tidak terbiasa melakukan
pelayaran. Di Belitung mereka
menebang pohon dan membuat
perahu berukuran lebih kecil
untuk masuk ke sungai-sungai di
Jawa yang sempit sambil
memperbaiki kapal-kapal mereka
yang telah berlayar mengarungi
laut cukup jauh.

Pada bulan kedua tahun itu, Ike
Mese bersama pejabat yang
menangani wilayah Jawa dan
500 orang menggunakan 10
kapal, berangkat menuju ke Jawa
untuk membuka jalan bagi
balatentara Mongol yang
dipimpin Shih Pi. Ketika berada di
Tuban mereka mendengar
bahwa Raja Kretanagara telah
tewas dibunuh oleh Jayakatwang
yang kemudian mengangkat
dirinya sebagai raja Singasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan
adalah menundukkan Jawa dan
memaksa raja Singasari, siapa
pun orangnya, untuk mengakui
kekuasaan Mongol, rencana
menjatuhkan Jawa tetap harus
dilaksanakan. Sebelum menyusul
ke Tuban, orang-orang Mongol
berhenti di Pulau Karimunjawa
untuk bersiap-siap memasuki
wilayah Singasari. Mereka
kemudian berkumpul kembali di
Tuban dengan balatentara
Mongol.

Diputuskan bahwa Ike Mese akan
membawa setengah dari
pasukan kira-kira sebanyak
10.000 orang berjalan kaki
menuju Singhasari; selebihnya
tetap di kapal dan melakukan
perjalanan menggunakan sungai
sebagai jalan masuk ke tempat
yang sama. Sebagai seorang
pelaut yang berpengalaman, Ike
Mese, yang sebenarnya berasal
dari Suku Uigur dari pedalaman
Cin—bukan berasal dari Mongol,
mendahului untuk membina
kerja sama dengan penguasa-
penguasa lokal yang tidak setia
kepada Jayakatwang.

Menurut berita Pararaton,
kedatangan balatentara Mongol
(kitab tersebut menyebutnya
Tartar) merupakan upaya Bupati
Madura, Aria Wiraraja, yang
mengundangnya ke Jawa untuk
menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja
berjanji kepada Kaisar Mongol
bahwa ia akan
mempersembahkan seorang
puteri cantik sebagai tanda
persahabatan apabila Daha dapat
ditundukkan. Surat kepada Kaisar
Mongol disampaikan melalui jasa
pedagang Cina yang kapalnya
tengah merapat di Jawa (Pitono,
1965: 44). Ada pun sumber yang
lain menyebutkan bahwa Raden
Wijaya mengundang Ike Mese
untuk memberitahukan bahwa
dirinya adalah ahli waris
Kretanagara yang sudah tewas.
Wijaya meminta bantuan untuk
merebut kembali kekuasaan
Singasari dari tangan
Jayakatwang, dan setelah itu
baru ia bersedia menyatakan
tunduk kepada Kaisar Mongol.

Armada kapal Mongol selebihnya
yang dipimpin langsung oleh
Shih Pi, memasuki Jawa dari arah
Sungai Sedayu dan Kali Mas.
Setelah mendarat di Jawa, ia
menugaskan Ike Mese dan Kau
Hsing untuk memimpin pasukan
darat. Beberapa panglima
“ pasukan 10.000-an” turut
mendampingi mereka.
Sebelumnya, tiga orang pejabat
tinggi diberangkatkan
menggunakan “kapal cepat”
menuju ke Majapahit setelah
mendengar bahwa pasukan
Raden Wijaya ingin bergabung
tetapi tidak bisa meninggalkan
pasukannya. Melihat keuntungan
memperoleh bantuan dari
bangsa pribumi, balatentara
Mongol menggabungkan
pasukan Majapahit ini menjadi
bagian bagian dari kekuatan
mereka.

Sementara itu, untuk
mempermudah gerakan
balatentara asing ini, Raden
Wijaya memberi kebebasan
untuk menggunakan pelabuhan-
pelabuhan yang ada di bawah
kekuasaannya dan bahkan
memberikan panduan untuk
mencapai Daha, ibukota
Singasari. Ia juga memberikan
peta wilayah Singasari kepada
Shih Pi yang sangat bermanfaat
dalam menyusun strategi perang
menghancurkan Jayakatwang.

Selain Majapahit, beberapa
kerajaan kecil (mungkin
setingkat provinsi di masa
sekarang) turut bergabung
dengan orang-orang Mongol
sehingga menambah besar
kekuatan militer yang
sebelumnya sudah sangat kuat
ketika berangkat dari Cina.
Persengkongkolan ini terwujud
sebagai ungkapan rasa tidak
suka mereka terhadap raja
Jayakatwang yang telah
membunuh Kartanegara melalui
sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga 1293, setelah
seluruh pasukan berkumpul di
mulut Sungai Kali Mas,
penyerbuan ke Singasari mulai
dilancarkan. Kekuatan Singasari
di sungai tersebut dapat
dilumpuhkan; lebih dari 100
kapal berdekorasi kepala raksasa
dapat disita karena seluruh
prajurit dan pejabat yang
mempertahankannya melarikan
diri untuk bergabung dengan
pasukan induknya.

Jayakatwang sendiri yang
mendengar persekutuan Wijaya-
Ike Mese segera mengirim
pasukan Kadiri untuk
menghancurkan mereka. Namun
pasukan Kadiri berhasil
dikalahkan. Selanjutnya,
gabungan pasukan Mongol-
Majapahit-Madura bergerak
menyerang Daha. Jayakatwang
akhirnya menyerah dan ditawan
dalam kapal Mongol.

Peperangan besar baru terjadi
pada hari ke-15, dihitung sejak
pasukan Mongol mendarat dan
membangun kekuatan di muara
Kali Mas, di mana balatentara
gabungan Mongol-Wijaya berada.
Dalam peperangan ini, karena
kekuatan sangat tak seimbang,
mereka berhasil mengalahkan
pasukan Kadiri-Singasari.
Kekalahan ini menyebabkan sisa
pasukan Singasari melarikan diri
untuk berkumpul di Daha,
ibukota negara. Pasukan Ike
Mese, Kau Hsing, dan Wijaya terus
melakukan pengejaran dan
berhasil memasuki Daha
beberapa hari kemudian. Pada
hari ke-19 terjadi peperangan
yang sangat menentukan riwayat
Singasari.

Serbuan ke Daha dilakukan
melalui darat dan sungai, yang
berjalan sengit, sepanjang pagi
hingga siang hari. Gabungan
pasukan Cina dan Raden Wijaya
berhasil membinasakan 5.000
tentara Daha. Dilindungi oleh
lebih dari 10.000 pasukan, Raja
Jayakatwang berusaha
memenangkan pertempuran
mulai dari pagi hingga siang
hari. Dalam peperangan ini
dikatakan bahwa pasukan
Mongol menggunakan meriam
yang pada zaman itu masih
tergolong langka di dunia.

Terjadi tiga kali pertempuran
besar antara kedua kekuatan
yang berseteru ini di empat arah
kota dan dimenangkan oleh
pihak para penyerbu. Pasukan
Singasari terpecah dua; sebagian
menuju sungai dan tenggelam di
sana karena dihadang oleh
orang-orang Mongol, sebagian
lagi sebanyak lebih kurang 5.000
dalam keadaan panik akhirnya
dibantai. Salah seorang anak
Jayakatwang yang melarikan diri
ke perbukitan di sekitar ibukota,
dapat ditangkap dan ditawan
oleh pasukan Kau Hsing yang
berkekuatan seribu orang.

Jayakatwang sendiri mulai
menyadari kekalahannya. Ia
mundur dan bertahan di dalam
kota yang dikelilingi benteng.
Pada sore harinya ia
memutuskan keluar dan
menyerah karena tidak melihat
kemungkinan untuk mampu
bertahan. Kemenangan pasukan
gabungan ini menyenangkan
bangsa Mongol. Seluruh anggota
keluarga raja dan pejabat tinggi
Singasari, termasuk Jayakatwang,
berikut anak-anak mereka,
ditahan oleh tentara Mongol.

Pengusiran Tentara Mongol oleh
Raden Wijaya
Kronik Cina mencatat, bahwa
sebulan kemudian setelah
penaklukan Singasari, dengan
dikawal dua perwira dan 200
pasukan Cina, Raden Wijaya
minta izin kembali ke Majapahit
untuk menyiapkan upeti bagi
Kaisar Kublai Khan, sebagai
lambang penyerahan dirinya. Ike
Mese mengizinkannya tanpa
curiga. Sesampainya di Majapahit,
bukannya mempersiapkan upeti,
Wijaya malah menghabisi kedua
perwira dan para pengawal dari
Mongol yang menyertainya.
Setelah itu, dengan membawa
pasukan yang lebih besar, Raden
Wijaya memimpin pasukan
Majapahit menyerbu pasukan
Cina yang masih tersisa di Daha
di mana pasukan Mongol sedang
berpesta kemenangan.

Serangan mendadak yang tidak
disadari itu membuat Ike Mese
kaget tidak kepalang tanggung.
Tiga ribu pasukan Kerajaan Yuan
dari Cina ini dapat dibinasakan
oleh pasukan Majapahit, dan
memaksa mereka keluar dari
Pulau Jawa dengan
meninggalkan banyak korban.
Shih Pi dan Kau Hsing yang
terpisah dari pasukannya, harus
melarikan diri sampai sejauh 300
li (± 130 kilometer), sebelum
akhirnya dapat bergabung
kembali dengan sisa pasukan
yang menunggunya di pesisir
utara. Dari sini mereka berlayar
selama 68 hari kembali ke Cina
dan mendarat di Chuan-chou.
Adalah Sora dan Ranggalawe,
dua panglima perang Majapahit
yang sempat membantu orang-
orang Mongol menjatuhkan
Jayakatwang, yang melakukan
penumpasan itu (Pitono, 1965:
46).
Kekekalahan balatentara Mongol
oleh orang-orang Jawa hingga
kini tetap dikenang dalam
sejarah Cina. Sebelumnya, mereka
nyaris tidak pernah kalah di
dalam peperangan melawan
bangsa mana pun di dunia.
Selain di Jawa, pasukan Kublai
Khan juga pernah hancur saat
akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi, kehancuran ini
bukan disebabkan oleh kekuatan
militer bangsa Jepang melainkan
oleh terpaan badai sangat
kencang yang
memorakmorandakan armada
kapal kerajaan dan membunuh
hampir seluruh prajurit di
dalamnya.

Menjelang akhir Maret, yaitu di
hari ke-24, seluruh pasukan
Mongol kembali ke negara
asalnya dengan membawa
tawanan para bangsawan
Singasari ke Cina beserta ribuan
hadiah bagi Kaisar. Sebelum
berangkat, mereka menghukum
mati Jayakatwang dan anaknya
di atas kapal sebagai ungkapan
rasa kesal atas “pengkhianatan”
Raden Wijaya. Pararaton
memberikan keterangan yang
kontradiktif, bahwa Jayakatwang
bukan mati dibunuh orang-
orang Mongol melainkan oleh
Raden Wijaya sendiri, tidak lama
setelah Daha, ibukota Singasari,
berhasil dihancurkan.

Ternyata kegagalan Shih Pi
menundukkan Jawa harus
dibayar mahal olehnya. Ia
menerima 17 kali cambukan atas
perintah Kublai Khan; seluruh
harta bendanya dirampas oleh
kerajaan sebagai kompensasi
atas peristiwa yang meredupkan
kebesaran nama Mongol
tersebut. Ia dipersalahkan atas
tewasnya 3.000 lebih prajurit
dalam ekspedisi menghukum
Jawa tersebut. Selain itu,
peristiwa ini mencoreng wajah
Kublai Khan karena untuk kedua
kalinya dipermalukan orang-
orang Jawa setelah raja
Kretanegara melukai wajah Meng
Chi. Namun sebagai raja yang
tahu menghargai kesatriaan, tiga
tahun kemudian nama baik Shih
Pi direhabilitasi dan harta
bendanya dikembalikan. Ia diberi
hadiah jabatan tinggi dalam
hirarkhi Dinasti Yuan yang
dinikmatinya sampai meninggal
dalam usia 86 tahun.

Di lain pihak, akhirnya cita-cita
Raden Wijaya untuk
menjatuhkan Daha dan
membalas sakit hatinya terhadap
Jayakatwang dapat diwujudkan
dengan memanfaatkan tentara
asing. Ia kemudian
memproklamasikan berdirinya
sebuah kerajaan baru: Majapahit.
Pada 1215 Raden Wijaya
dinobatkan sebagai raja pertama
dengan gelar Sri Kretarajasa
Jayawardhana.

Tidak ada komentar: